Cadangan Emas Timika Melimpah

Jakarta, Kompas – Cadangan emas di tambang yang dikelola PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, masih melimpah. hal itu menjadi salah satu pertimbangan dalam divestasi saham sampai 51 persen milik Freeport kepada pihak Indonesia. Proses negosiasi terkait divestasi masih terus berlangsung.

Negosiasi banyak berkutat soal besaran nilai divestasi dan proses atau tahapannya. Pemerintah menargetkan proses divestasi rampung pada April 2018. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum ditunjuk sebagai perusahaan induk pertambangan yang mengambil divestasi saham Freeport.

Head of Corporate Communications Inalum Rendi A Witular mengatakan, ketersediaan cadangan emas dan tembaga menjadi salah satu pertimbangan dalam usaha pengambilan divestasi saham Freeport. Ia meyakinkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pembelian saham dan belanja modal akan setimpal dengan sisa cadangan yang ada bahkan, Inalum masih akan mendapat untuk yang layak.

“Biaya modal yang dikeluarkan untuk tambang bawah tanah memang mencapai jutaan dollar AS. Namun, EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi) yang diperoleh juga besar, terutama sejak 2023 nanti, mencapai 1,4 miliar dollar AS dan sesudahnya terus menanjak,” kata Rendi, Selasa (20/3), di Jakarta.

Berdasarkan data yang didapat Kompas, cadangan emas di Timika diperkirakan masih tersisa sebanyak 163 juta ons. Angka tersebut belum memasukkan hasil eksplorasi di wilayah lain yang diperkirakan punya potensi emas cukup besar.

Terkait keputusan pemerintah mengambil divestasi, tanpa menunggu kontrak Freeport rampung pada 2021, lanjut Rendi, disebabkan sejumlah faktor, menyangkut aspek teknis, ekonomi, dan sosial. Apabila kontrak Freeport tidak diperpanjang dan pengelolaannya diambil alih, maka perlu waktu lima tahun agar operasi pertambangan di Timika kembali normal.

Hal itu berarti kehilangan potensi pendapatan selama lima tahun dalam hal pajak, royalti, dan manfaat tak langsung lainnya.

Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, pertimbangan sisa cadangan mineral tambang yang dikelola Freeport menjadi hal penting dalam proses divestasi. Sisa cadangan akan berkait erat dengan biaya divestasi yang dikeluarkan pemerintah. Terkait hal ini, pemerintah harus cermat berhitung.

“Soal valuasi mineral dalam proses divestasi, tak jarang valuasi mineral kerap lebih tinggi ketimbang nilai sesungguhnya di kemudian hari karena harga komoditas selalu naik turun. Sulit diprediksi dengan akurat. Sekali lagi, pemerintah harus benar-benar cermat,” ujar Irwandy.

Sampai saat ini, saham pemerintah melalui Inalum di PT Freeport Indonesia hanya sebesar 9,36 persen. Berdasarkan peraturan yang ada, Freeport harus melepas sahamnya sampai sedikitnya 51 persen. (APO)

 

Sumber : Kompas, 21 Maret 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *